Senin, 16 April 2012

ANEMIA MEGALOBLASTIK

Anemia Megaloblastik
Anemia Megaloblastik adalah anemia yang terjadi karena terhambatnya dan eritrosit yang tidak berfungsi.  Anemia Megaloblastik adalah anemia yang khas ditandai oleh adanya sel megaloblas dalam sumsum tulang. Sel megaloblas adalah sel precursor eritrosit dengan bentuk sel yang besar disertai adanya kes, dimana maturasi sitoplasma normal tetapi inti besar dengan susuna kromosom yang longgar.
Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 selama kehamilan sangat jarang terjadi, ditandai oleh kegagalan tubuh menyerap vitamin B12 karena tidak adanya faktor intrinsik. Ini adalah suatu penyakit autoimun yang sangat jarang pada wanita dengan kelainan ini. Defisiensi vitamin B12 pada wanita hamil lebih mungkin dijumapai pada mereka yang menjalani reseksi lambung parsial atau total. Kausa lain adalah penyakit Crohn, reseksi ileum, dan pertumbuhan bakteri berlebihan di usus halus.
Kadar vitamin B12 serum diukur dengan radio immunoassay. Selama kehamilan, kadar nonhamil karena berkurangnya konsentrasi protein pengangkut B12 transkobalamin (zamorano dkk, 1985). Wanita yang telah menjalani gastrektomi total harus diberi 1000 mg sianokobalamin (vitamin B12) intramuscular setiap bulan. Mereka yang menjalani gastrektomi parsial biasanya tidak memerlukan terapi ini, tetapi selama kehamilan kadar vitamin B12 perlu dipantau. Tidak ada alasan untuk menunda pemberian asam folat selama kehamilan hanya karena kekhawatiran bahwa akan terjadi gangguan integritas saraf pada wanita yang mungkin hamil dan secara bersamaan mengidap anemia pernisiosa Addisonian yang tidak terdeteksi (sehingga tidak diobati).


Etiologi
Penyebab anemia megaloblas adalah sebagai berikut :
1.            Defisiensi Vit B12
a.       Asupan kurang ; pada vegetarian
b.      Malabsopsi
ü  Dewasa: anemia pernisiosa, gastrektomi total/parsial, penyakit Chorn’s, parasit, limfoma ususu halus, obat-obatan (naomisin, etanol, KCL)
ü  Anak-anak : anemia pernisiosa, gangguan sekresi, factor intrinsic lambung dan gangguan reseptor kobalamin di ileum
c.       Gangguan metabolisme seluler
Defisiensi enzim, abnormallitas protein pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin), dan paparan nitrit oksida yang berlangsung lama.
                  d.   Infeksi cacing pita.     
2.            Defisiensi Asam Folat
a.       asupan kurang
ü  Gangguan nutrisi
Alkoholoisme, bayi premature, orang tua hemodialisis dan anoreksia nervosa.
ü  Malabsopsi
Gastrektomi parsial, reseksi usus halus,penyakit Crohn’s, scleroderma dan obat antikonvulsan.
b.      Peningkatan kebutuhan
Kehamilan, anemka hemolitik, keganasan, hipertiroidisme, serta eritropoesis yang tidak efektif (anemia pernisiosa, anemia sideroblastik, leukemia dan anemia hemolitik).
c.       Gangguan metabolisme folat
Alkoholisme, defisiensi enzim
d.      Penurunan cadangan folat di hati
Alkoholisme,sirosis non alkoholik dan hepatoma.
3.            Gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam folat.
4.            Gangguan sintesisi DNA yang merupakan akibat dari proses berikut ini :
a.       defisiensi enzim congenital
b.      didapat setelah pemberian obat atau sitostatik tertentu.

Klasifikasi
Menurut penyebabnya anemia megaloblastik di bagi beberapa Jenis :
1.            Anemia megaloblastik karena defisiensi Vitamin B12
a.       Penderita yang tidak makan daging hewan atau ikan,telur serta susu yang mengandung vitamin B12.
b.      Adanya malabsorpsi akibat kelaianan pada irgan berikut ini,
ü   Kelainan lambung (anemia pernisiosa, kelainan congenital, factor intrinsic, serta gastrektomi total atau parsial)
ü   Kelainan usus (intestinal loop syndrome, tropical sprue dan post reseksi ileum)
2.            Anemia megaloblastik karenma defisiensi asam folat
a.       disebabkan oleh makanan yang kurang gizi asam folat, terutama pada orang tua ,gastrektomi parsial dan anemia akibat hanya minum susu kambing.
b.      Malabsorpsi asam folat karena penyakit usus
c.       Kebutuhan yang meningkat akibat keadaan fisiologis (hamil,laktasi prematuritas) dan keadaan fatologis (anemia hemolitik, keganasan serta penyakit kolagen).
d.      Ekskresi asam folat yang berlebihan lewat usus biasanya terjadi  pada penyakit hati yang aktif atau kegagalan faal jantung.
e.       Obat-obatan antikonvulsan dan sitostatik tertentu.
3.            Anemia megaloblastik karena kombinasi defisiensi vitamin B12 dan asam folat
Merupakan anemia megaloblastik akibat defisiensi enzim congenital atau pada eritroleukemia.
Patofisiologi
Timbulnya mebaloblas adalah akibat gangguan maturasi sel karena terjadi gangguan sintesis DNA sel-sel eritroblast akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12, diman vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA onti sel dan secara khusus untuk vitamin B12 penting dalam pembentukan mielin. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritoblas ini, maka meturasi ini lebih lambat sehingga kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar Karena pembelahan sel yang lambat. Sel eritoblast dengan ukuran yang lebih besar serta susunan kromatin yang lebih longgar di sebut sebagai sel megaloblast. sel megaloblast ini fungsinya tidak normal,dihancurkan saat masih dalam sumsum tulang sehhingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek yang berujung pada terjadinya anemia.
 Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Anemia Megaloblastik
A.    Pengkajian
a. Identitas Klien
b.Riwayat Kesehatan
-          RKD (Riwayat Kesehatan Dahulu)
Kemungkinan klien kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung asam folat, Fe dan vitamin B12
-          RKK (Riwayat Kesehatan Keluarga)
-          RKS (Riwayat Kesehatan Sekarang):
a.       Klien terlihat keletihan dan lemah.
b.      Muka klien pucat.
c.       Mengeliuh nyeri mulut dan lidah.
c. Kebutuhan dasar
1.      Aktivitas / Istirahat
a.       Keletihan, kelemahan otot, malaise umum
b.      Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
c.       Takikardia, takipnea ; dipsnea pada saat beraktivitas atau istirahat
d.      Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya
e.       Ataksia, tubuh tidak tegak
f.       Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat dan tanda – tanda lain yang menunjukkan keletihan
2.      Sirkulasi
a.       Mulut dan membran mukosa (konjungtiva, faring dan bibir) pucat
b.      Pengisian kapiler melambat.
c.       Rambut kering, mudah putus
3.      Integritas Ego
a.       Keyakinan agama / budaya mempengaruhi pilihan pengobatan mis transfusi darah
b.      Depresi
4.      Eliminasi
a.       Sindrom malabsorpsi
b.      Diare
c.       Penurunan haluaran urine
5.      Makanan / cairan
a.       Penurunan masukan diet
b.      Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring)
c.       Anoreksia
d.      Adanya penurunan berat badan
e.       Membrane mukusa kering,pucat
f.       Turgor kulit buruk, kering, tidak elastis
g.      Stomatitis
6.      Neurosensori
a.       Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkonsentrasi
b.      Insomnia, penurunan penglihatan dan bayangan pada mata
c.       Kelemahan, keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki
d.      Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis
e.       Tidak mampu berespon lambat dan dangkal
f.       Gangguan koordinasi, ataksia
7.      Pernapasan
a.       Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
b.      Takipnea, ortopnea dan dispnea
B.     Diagnosa Keperawatan
1.      Perubahan perfusi jaringan b.d penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen/nutrient ke sel.
2.      Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen (pengiriman) dan kebutuhan.
3.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kegagalan untuk mencerna atau ketidak mampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah
4.      Risiko tinggi terhadap infeksi b.d  tidak adekuatnya pertahanan sekunder (penurunan hemoglobin leucopenia, atau penurunan granulosit (respons inflamasi tertekan).
5.      Konstipasi atau Diare berhubungan dengan penurunan masukan diet; perubahan proses pencernaan; efek samping terapi obat.
6.      Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang terpajan/mengingat ; salah interpretasi informasi ; tidak mengenal sumber informasi.
Daftar Pustaka:
Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC
Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
Handayani Wiwik dan Andi Sulistyo. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
http://anemiamegaloblastik.blogspot.com/2011/03

Minggu, 01 April 2012

Anatomi Parathyroid

              Kelenjar thyroid berperan dalam mempertahankan tingkat metabolisme di berbagai jaringan agar optimal sehingga mereka berfungsi normal. Hormon thyroid merangsang konsumsi O2 pada sebagian besar sel tubuh, membantu mengatur metabolisme lemak dan karbohidrat, dan penting untuk pertumbuhan dan pematangan normal.
       Kelenjar thyroid tidak esensial bagi kehidupan, tetapi ketiadaannya menyebabkan keterlambatan perkembangan fisik dan mental, berkurangnya daya tahan terhadap dingin, serta pada anak-anak timbul retardasi mental dan kecebolan (dwarfisme). Sebaliknya, sekresi thyroid yang berlebihan menyebabkan badan menjadi kurus, gelisah, takhikardi, tremor dan kelebihan pembentukan panas.
Pada mammalia, kelenjar thyroid juga mensekresi kalsitonin, yaitu suatu hormon yang berfungsi menurunkan kadar kalsium dalam darah.
         Kelenjar paratiroid kecil, kuning kecoklatan oval, biasanya terletak antara garis lobus posterior dari kelenjar tiroid dan kapsulnya. Ukurannya kira2 6x3x2 mm. Beratnya 50 mg.
Biasanya 2 pada tiap sisi, superior dan inferior. Normalnya paratiroid posterior bergeser hanya pada kutub paratiroid posterior, tapi bisa juga turun bersama timus ke thorax atau pada bifurcation karotis.
         Kelenjar paratiroid superior letaknya lebih konstan daripada inferior dan biasanya terlihat di tengah garis posterior kelenjar tiroid walaupun bisa lebih tinggi. Bagian inferior sangat bervariasi pada beberapa situasi (tergantung perkembangan embriologisnya) dan bias tanpa selubung fascia tiroid, di bawah arteri tiroid, atau pada kelenjar tiroid dekat kutub inferior.
          Kelenjar paratiroid divaskularisasi oleh a. tiroid inferior atau dari anastomose antara pembuluh darah superior dan inferior. Kira2 1/3 kelenjar paratiroid pada orang2 punya 2 atau lebih arteri paratiroid. Pembuluh limfe ada banyak dan diasosiasikan dengan kelenjar tiroid dan tymus.

FISIOLOGI KELENJAR THYROID
Biosintesis Hormon Thyroid
              Iodium adalah adalah bahan dasar yang sangat penting dalam biosintesis hormon thyroid. Iodium yang dikonsumsi diubah menjadi iodida kemudian diabsorbsi. Kelenjar thyroid mengkonsentrasikan iodida dengan mentransport aktif iodida dari sirkulasi ke dalam koloid. Mekanisme transport tersebut dikenal dengan “ iodide trapping mechanism”. Na+ dan I- ditransport dengan mekanisme cotransport ke dalam sel thyroid, kemudian Na+ dipompa ke interstisial oleh Na+-K+ATPase.1
             Di dalam kelenjar thyroid, iodida mengalami oksidasi menjadi iodium. Iodium kemudian berikatan dengan molekul tirosin yang melekat ke tiroglobulin. Tiroglobulin adalah molekul glikoprotein yang disintesis oleh retikulum endoplasma dan kompleks Golgi sel-sel thyroid. Setiap molekul tiroglobulin mengandung 140 asam amino tirosin.
Enzim yang berperan dalam oksidasi dan pengikatan iodida adalah thyroid peroksidase. Senyawa yang terbentuk adalah monoiodotirosin (MIT) dan diodotirosin (DIT). Dua molekul DIT kemudian mengalami suatu kondensasi oksidatif membentuk tetraiodotironin (T4). Triiodotironin (T3) mungkin terbentuk melalui kondensasi MIT dengan DIT. Sejumlah kecil reverse triiodotironin (rT3) juga terbentuk, mungkin melalui kondensasi DIT dengan MIT. Dalam thyroid manusia normal, distribusi rata-rata senyawa beriodium adalah 23 % MIT, 33 % DIT, 35 % T4 dan 7 % T3. RT3 dan komponen lain terdapat hanya dalam jumlah yang sangat sedikit.
Sekresi Hormon Thyroid
Sel-sel thyroid mengambil koloid melalui proses endositosis. Di dalam sel, globulus koloid menyatu dengan lisosom. Ikatan peptida antara residu beriodium dengan tiroglobulin terputus oleh protease di dalam lisosom, dan T4, T3, DIT serta MIT dibebaskan ke dalam sitoplasma. T4 dan T3 bebas kemudian melewati membran sel dan dilepaskan ke dalam sirkulasi.
           MIT dan DIT tidak disekresikan ke dalam darah karena iodiumnya sudah dibebasakan sebagai akibat dari kerja intraselular iodotirosin dehalogenase. Hasil dari reaksi enzimatik ini adalah iodium dan tirosin. Iodium digunakan kembali oleh kelenjar dan secara normal menyediakan iodium dua kali lipat dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pompa iodium.
Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid
              Hormon thyroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, yaitu: globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin, TBG), prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding prealbumin, TBPA) dan albumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding albumin, TBA). Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada protein-protein tersebut dan hanya sebagian kecil saja (kurang dari 0,05 %) berada dalam bentuk bebas.
                 Hormon yang terikat dan yang bebas berada dalam keseimbangan yang reversibel. Hormon yang bebas merupakan fraksi yang aktif secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih banyak dan terikat pada protein tidak dapat mencapai jaringan sasaran.   Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG merupakan protein pengikat yang paling spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini dibandingkan dengan triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih mudah berpindah ke jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktifitas metabolik triiodotironin lebih besar.
          Perubahan konsentrasi TBG dapat menyebabkan perubahan kadar tiroksin total dalam sirkulasi. Peningkatan TBG, seperti pada kehamilan, pemakaian pil kontrasepsi, hepatitis, sirosis primer kandung empedu dan karsinoma hepatoselular dapat mengakibatkan peningkatan kadar tiroksin yang terikat pada protein. Sebaliknya, penurunan TBG, misalnya pada sindrom nefrotik, pemberian glukokortikoid dosis tinggi, androgen dan steroid anabolik dapat menyebabkan penurunan kadar tiroksin yang terikat pada protein.
           Hormon-hormon thyroid diubah secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan yang penting adalah deiodinasi yang bertanggung jawab atas ekskresi 70 % hormon yang disekresi. 30 % lainnya hilang dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai glukuronida atau persenyawaan sulfat. Akibat deiodinasi, 80 % T4 dapat diubah menjadi 3,5,3’-triiodotironin, sedangkan 20 % sisanya diubah menjadi reverse 3,3’,5’-triiodotironin (rT3) yang merupakan hormon metabolik yang tidak aktif.
Mekanisme Kerja Hormon Thyroid
Mekanisme kerja hormon thyroid ada yang bersifat genomik melalui pengaturan ekspresi gen, dan non genomik melalui efek langsung pada sitosol sel, membran dan mitokondria.
Mekanisme kerja yang bersifat genomik dapat dijelaskan sebagai berikut, hormon thyroid yang tidak terikat melewati membran sel, kemudian masuk ke dalam inti sel dan berikatan dengan reseptor thyroid (TR). T3 dan T4 masing-masing berikatan dengan reseptor tersebut, tetapi ikatannya tidak sama erat. T3 terikat lebih erat daripada T4.
Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan DNA melalui jari-jari “zinc” dan meningkatkan atau pada beberapa keadaan menurunkan ekspresi berbagai gen yang mengkode enzim yang mengatur fungsi sel.
Ada dua gen TR manusia, yaitu gen reseptor α pada kromosom 17 dan gen reseptor β pada kromosom 3. Dengan ikatan alternatif, setiap gen membentuk paling tidak dua mRNA yang berbeda, sehingga akan terbentuk dua protein reseptor yang berbeda. TRβ2 hanya ditemukan di otak, sedangkan TRα1, TRα2 dan TRβ1 tersebar secara luas. TRα2 berbeda dari ketiga reseptor yang lain, yaitu tidak mengikat T3 dan fungsinya belum diketahui. Reseptor thyroid (TR) berikatan dengan DNA sebagai monomer, homodimer dan heterodimer bersama dengan reseptor inti yang lain.
Dalam hampir semua kerjanya, T3 bekerja lebih cepat dan 3-5 kali lebih kuat daripada T4. Hal ini disebabkan karena ikatan T3 dengan protein plasma kurang erat, tetapi terikat lebih erat pada reseptor hormon thyroid.
Efek Hormon Thyroid
Secara umum efek hormon thyroid adalah meningkatkan aktifitas metabolisme pada hampir semua jaringan dan organ tubuh, karena perangsangan konsumsi oksigen semua sel-sel tubuh. Kecepatan tumbuh pada anak-anak meningkat, aktifitas beberapa kelenjar endokrin terangsang dan aktifitas mental lebih cepat.3
Efek Kalorigenik Hormon thyroid
T4 dan T3 meningkatkatkan konsumsi O2 hampir pada semua jaringan yang metabolismenya aktif, kecuali pada jaringan otak orang dewasa, testis, uterus, kelenjar limfe, limpa dan hipofisis anterior.1 ,2, 13
Beberapa efek kalorigenik hormon thyroid disebabkan oleh metabolisme asam lemak yang dimobilisasi oleh hormon ini. Di samping itu hormon thyroid meningkatkan aktivitas Na+-K+ATPase yang terikat pada membran di banyak jaringan.
Bila pada orang dewasa taraf metabolisme ditingkatkan oleh T4 dan T3, maka akan terjadi peningkatan ekskresi nitrogen. Bila masukan makanan tidak ditingkatkan pada kondisi tersebut, maka protein endogen dan simpanan lemak akan diuraikan yang berakibat pada penurunan berat badan.
Efek Hormon Thyroid pada Sistem Saraf
Hormon thyroid memiliki efek yang kuat pada perkembangan otak. Bagian SSP yang paling dipengaruhi adalah korteks serebri dan ganglia basalis. Di samping itu, kokhlea juga dipengaruhi. Akibatnya, defisiensi hormon thyroid yang terjadi selama masa perkembangan akan menyebabkan retardasi mental, kekakuan motorik dan ketulian.
Hormon thyroid juga menimbulkan efek pada refleks. Waktu reaksi refleks regang menjadi lebih singkat pada hipertiroidisme dan memanjang pada hipotiroidisme. 
Pada hipertiroidisme, terjadi tremor halus pada otot. Tremor tersebut mungkin disebabkan karena peningkatan aktivitas pada daerah-daerah medula spinalis yang mengatur tonus otot.
Efek Hormon Thyroid pada Jantung
Hormon thyroid memberikan efek multipel pada jantung. Sebagian disebabkan karena kerja langsung T3 pada miosit, dan sebagian melalui interaksi dengan katekolamin dan sistem saraf simpatis.
Hormon thyroid meningkatkan jumlah dan afinitas reseptor β-adrenergik pada jantung, sehingga meningkatkan kepekaannya terhadap efek inotropik dan kronotropik katekolamin.
Hormon-hormon ini juga mempengaruhi jenis miosin yang ditemukan pada otot jantung. Pada pengobatan dengan hormon thyroid, terjadi peningkatan kadar myosin heavy chain-α (MHC-α), sehingga meningkatkan kecepatan kontraksi otot jantung.
Efek Hormon Thyroid pada Otot Rangka
Pada sebagian besar penderita hipertiroidisme terjadi kelemahan otot (miopati tirotoksisitas). Kelemahan otot mungkin disebabkan oleh peningkatan katabolisme protein. Hormon thyroid mempengaruhi ekspresi gen-gen myosin heavy chain (MHC) baik di otot rangka maupun otot jantung. Namun , efek yang ditimbulkan bersifat kompleks dan kaitannya dengan miopati masih belum jelas.
Efek Hormon Thyroid dalam Sintesis Protein
Peranan hormon thyroid dalam peningkatan sintesis protein dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Hormon thyroid memasuki inti sel, kemudian berikatan dengan reseptor hormon thyroid. (2) Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan DNA dan meningkatkan transkripsi mRNA serta sintesis protein.
Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Karbohidrat
Hormon thyroid merangsang hampir semua aspek metabolisme karbohidrat, termasuk ambilan glukosa yang cepat oleh sel-sel, meningkatkan glikolisis, meningkatkan glukoneogenesis, meningkatkan kecepatan absorbsi dari traktus gastrointestinalis dan juga meningkatkan sekresi insulin dengan efek sekunder yang dihasilkan atas metabolisme karbohidrat.
Efek Hormon Thyroid pada Metabolisme Kolesterol
Hormon thyroid menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kadar kolesterol plasma turun sebelum kecepatan metabolisme meningkat, yang menunjukkan bahwa efek ini tidak bergantung pada stimulasi konsumsi O2. Penurunan konsentrasi kolesterol plasma disebabkan oleh peningkatan pembentukan reseptor LDL di hati, yang menyebabkan peningkatan penyingkiran kolesterol oleh hati dari sirkulasi.1
Efek Hormon Thyroid pada Pertumbuhan
Hormon thyroid penting untuk pertumbuhan dan pematangan tulang yang normal. Pada anak dengan hipotiroid, pertumbuhan tulang melambat dan penutupan epifisis tertunda. Tanpa adanya hormon thyroid, sekresi hormon pertumbuhan juga terhambat, dan hormon thyroid memperkuat efek hormon pertumbuhan pada jaringan.
Pengaturan Sekresi Hormon Thyroid
Fungsi thyroid diatur terutama oleh kadar TSH hipofisis dalam darah. Efek spesifik TSH pada kelenjar thyroid adalah:
• Meningkatkan proteolisis tiroglobulin dalam folikel
• Meningkatkan aktifitas pompa iodida
• Meningkatkan iodinasi tirosin
• Meningkatkan ukuran dan aktifitas sel-sel thyroid
• Meningkatkan jumlah sel-sel thyroid.
Sekresi TSH meningkat oleh hormon hipotalamus, thyrotropin releasing hormone (TRH) yang disekresi oleh ujung-ujung saraf pada eminensia media hipotalamus. TRH mempunyai efek langsung pada sel kelenjar hipofisis anterior untuk meningkatkan pengeluaran TRHnya.
Salah satu rangsang yang paling dikenal untuk meningkatkan kecepatan sekresi TSH oleh hipofisis anterior adalah pemaparan dengan hawa dingin. Berbagai reaksi emosi juga dapat mempengaruhi pengeluaran TRH dan TSH sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi sekresi hormon thyroid.
Peningkatan hormon thyroid dalam cairan tubuh akan menurunkan sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Bila kecepatan sekresi hormon thyroid meningkat sekitar 1,75 kali dari normal, maka kecepatan sekresi TSH akan turun sampai nol. Penekanan sekresi TSH akibat peningkatan sekresi hormon thyroid terjadi melalui dua jalan, yaitu efek langsung pada hipofisis anterior sendiri dan efek yang lebih lemah yang bekerja melalui hipotalamus.
Abnormalitas Sekresi Hormon Thyroid
Abnormalitas sekresi terjadi akibat defisiensi iodium, malfungsi hipotalamus, hipofisis atau kelenjatr thyroid.
Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah penurunan produksi hormon thyroid. Hal ini mengakibatkan penurunan aktifitas metabolik, konstipasi, letargi, reaksi mental melambat dan peningkatan simpanan lemak.
Pada orang dewasa, kondisi ini menyebabkan miksedema, yang ditandai dengan adanya akumulasi air dan musin di bawah kulit, sehingga terlihat penampakan edema. Sedangkan pada anak kecil, hipotiroidisme mengakibatkan retardasi mental dan fisik.
Hipertiroidisme
Hipertiroidisme adalah terjadinya produksi hormon thyroid yang berlebihan. Hal ini mengakibatkan aktifitas metabolik meningkat, berat badan menurun, gelisah, tremor, diare, frekuensi jantung meningkat dan pada hipertiroidisme berlebihan gejalanya adalah toksisitas hormon.
Hipertiroidisme berlebihan dapat menyebabkan goiter eksoftalmik (penyakit Grave). Gejalanya berupa pembengkakan jaringan di bawah kantong mata, sehingga bola mata menonjol.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ganong, William. Kelenjar Thyroid, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi kedua puluh. Jakarta, McGraw-Hill & EGC. 2003.
2. Guyton, Arthur C. Hormon Thyroid, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, edisi ketiga. Jakarta, EGC. 1995.
3. Geneser, Finn. Kelenjar Thyroid, Buku Teks Histologi, jilid 2, edisi pertama. Jakarta, Binarupa Aksara.1994.
4. Sadler, T. W. Glandula Thyroidea, Embriologi Kedokteran Langman, edisi ketujuh. Jakarta, EGC. 2000.
5. Sabiston, David C. Glandula Thyroidea, Buku Ajar Ilmu Bedah, jilid 1. Jakarta, EGC. 1995.
6. Sloane, Ethel. Kelenjar Thyroid, Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, edisi pertama. Jakarta, EGC.2004.
7. Guibson, John. Kelenjar Thyroid, Fisiologi & Anatomi untuk Perawat, edisi kedua. Jakarta, EGC. 2003.
8. Moore, Keith L. and Anne M. R. Agur. Glandula Thyroidea, Anatomi Klinis Dasar. Jakarta, Hipokrates. 2002.
9. Putz, R. and R. Pabst. Neck, Sobotta, Atlas of Human Anatomy, part 1, 12th edition. Los Angeles, Williams & Wilkins. 1999.
10. Kierszenbaum, Abraham L. Endocrine System, Histology and Cell Biology, an Introduction to Pathology, 1st edition. Philadelphia, Mosby, Inc. 2002.
11. Junqueira, L. Carlos, et al. Tiroid, Histologi Dasar, edisi kedelapan. Jakarta, EGC. 1998.
12. Price, Sylvia Anderson, et. al. Gangguan Kelenjar Thyroid, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2006.
13. Syaifuddin. Kelenjar Thyroid. Struktur dan Komponen Tubuh Manusia, edisi pertama. Jakarta, Widya Medika. 2002.
14. Schwartz, Seymour I., et. al. Tiroid dan Paratiroid, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2000.
15. Thomson, A. D., et. al. Penyakit Kelenjar Endokrin, Catatan Kuliah Patologi, edisi ketiga. Jakarta, EGC.1997
16. http://ilmubedah.info
17. http://dok-tercantik.blogspot.com